![]() |
Sumpit |
Oleh: Datu Panglima Alai
Re-publish dalam bahasa Indonesia: Adum M. Sahriadi
Dahulu kala, di Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan pernah hidup
dua orang bersaudara, si Ayuh (Dayuhan) dan Intingan (Bambang Basiwara).
Semua orang di Kalimantan hampir semuanya mengetahui bahwa keduanya
merupakan nenek moyang (pedatuan) orang Banjar dan Dayak di Kalimantan
Selatan.
Datu Ayuhan dan Datu Intingan ini sangatlah erat persaudaraannya, ke
mana saja mengembara selalu berdua, tidak pernah saling bertengkar atau
bermusuhan. Keduanya sama-sama memiliki kesaktian masing-masing. Mereka
dua bersaudara ini sangatlah bijaksana dalam mengatur kehidupan
orang-orang kampung yang berdiam di Pegunungan Meratus. Tidak heran
kalau keduanya sangat dihormati dan disegani siapa saja, sampai-sampai
mereka berdua ini dihormati oleh orang-orang Dayak yang berdiam di
Borneo (Kalimantan) bagian timur, tengah, dan barat.
Selain mereka berdua, di Pegunungan Meratus juga pernah hidup seorang
datu yang bernama Datu Sumali’ing. Datu tersebut sangatlah berbeda
dengan Datu Ayuh dan Datu Intingan, bahkan kelakuannya dan sifatnya
merupakan kebalikan dari kedua orang datu tadi. Mereka yang tinggal di
Pegunungan Meratus sangatlah takut dengan Datu Sumali’ing ini.
Datu Sumali’ing ini memiliki kesaktian yang sangat sukar dikalahkan.
Beliau ini sangat sakti, kebal terhadap senjata, kebal terhadap peluru,
dan yang paling hebat dari beliau adalah siapa saja yang terkena liur
(ludah)-nya langsung berubah menjadi batu. Banyak sudah yang menjadi
korban beliau, sampai-sampai binatang juga banyak yang berubah menjadi
batu. Salah sedikit, datu ini langsung meludahi, “Cuuuuuh….”, yang kena
dan apa saja yang kena akan berubah menjadi batu.
Karena beliau merasa sakti dan tidak ada yang menandingi, lalu beliau
bermaksud menguasai Pegunungan Meratus. Akhirnya tersiar kabar bahwa
beliau hendak menguasai Pegunungan Meratus, dan sampailah kabar tersebut
ke telinga Datu Ayuh dan Datu Intingan. Kedua bersaudara ini kemudian
merundingkannya.
“Intingan, kata orang si Sumali’ing handak menguasai Pegunungan
Meratus, benarkah?” Ujar Datu Ayuh membuka pembicaraan dengan Datu
Intingan.
“Aku juga mendengar kabar itu, kalaunya Sumali’ing ingin menguasai
pegunungan ini bisa rusak anak cucu kita diludahinya, dan semuanya akan
berubah jadi batu” kata Datu Intingan.
Lalu Datu Ayuh berucap, “Kalau begitu, kita lawan saja si Sumali’ing
itu daripada anak cucu kita jadi batu” kata Datu Ayuh sambil mengambil
sumpit di belakang pintu.
“Tunggu dulu, Sumali’ing itu sakti, jadi kita harus mencari kelemahannya dulu” kata Datu Intingan mengingatkan saudaranya.
Kemudian mereka berdua mengatur strategi, setelah dikira-kira matang
strategi tersebut, keduanya lekas-lekas mencari Datu Sumali’ing. Ke sana
ke mari, ke hulu ke hilir, Datu Ayuh dan Datu Intingan mencari tetapi
tidak bertemu juga. Akhirnya mereka kelelahan dan beristirahat sebentar
di atas batu sambil mengulurkan kaki. Tidak lama mereka duduk, di
seberang gunung Datu Ayuh dan Datu Intingan melihat Datu Sumali’ing
berjalan sambil memikul 6 ekor payau (rusa, menjangan). Rupanya Datu
Sumali’ing ini baru saja berburu dan mendapat 6 ekor payau.
Dari seberang gunung, Datu Ayuh dan Datu Intingan mengintip Datu
Sumali’ing yang singgah sambil menggerak-gerakkan pinggang, mungkin
karena kelelahan akibat memikul 6 ekor rusa tadi. Tampaknya Datu
Sumali’ing hendak ngaso (berbaring) sebentar melepaskan penatnya.
Sementara kedua datu tadi sedang bersiap-siap hendak menyumpit Datu
Sumali’ing dari seberang gunung.
Pada saat ingin meniup sumpit, tiba-tiba keduanya terkejut lantaran
ada suara gaib yang membisikkan di telinga mereka. Kata suara gaib
tersebut, “Kalau kalian ingin mengalahkan Sumali’ing maka sumpitlah di
kerongkongannya.” Setelah suara gaib tadi hilang, cepat-cepat keduanya bersiap-siap
untuk menyumpit. Kebetulan waktu itu Datu Sumali’ing menguap karena
ngantuk. Langsung saja keduanya meniup sumpitnya ke arah kerongkongan
Datu Sumali’ing. Pphuuuuuuu…pphuuuuuuuu..!!! Anak sumpit kedua datu ini
dari seberang gunung bergerak sangat cepat. Kkhaaapp..kkhaappp..!! Dua
buku anak sumpit tertancap tepat di dalam kerongkongan Datu Sumali’ing
yang sedang menguap tersebut.
Tidak lama setelah itu terdengar bunyi petir yang sangat keras dan
langit tiba-tiba berubah menjadi gelap. Tidak lama setelah itu,
tiba-tiba berubah terang kembali. Datu Ayuh dan Datu Intingan yang masih
berada di seberang gunung sangat terkejut melihat Datu Sumali’ing dan 6
ekor payau tadi berubah menjadi 7 buah gundukan bukit. Akhirnya 7 buah
gundukan bukit tersebut diberi nama Gunung Kapala Pitu, yaitu satu
kepala Datu Sumali’ing dan 6-nya lagi kepala Payau.
Sekarang gunung itu masih ada. Bila mau ke sana bisa melihatnya dari Kampung Batu Parahu.
Demikian ceritanya, kurang atau lebihnya mohon maaf.
(Menurut penulisnya yang menceritakan kembali dalam bahasa Banjar,
cerita tersebut dikisahkan oleh Dalimun, Pambakal Batu Perahu).
SUMBER: Grup FB: BUBUHAN KULAAN URANG ALAI BORNEO
https://banuahujungtanah.wordpress.com/2010/03/22/datu-dayuhan-dan-datu-intingan-vs-datu-simali%E2%80%99ing-asal-mula-gunung-kapala-pitu/
Tidak ada komentar: